Natural Science 3
Kebersamaan dengan teman-teman Natural Science 3 yg tidak akan pernah terlupakan hingga akhir Zaman.
Minggu, 22 Juli 2012
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
adalah ulama yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Beliau
adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa.
Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen.
Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga?
Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.
Ada
beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan
bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang
menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang
mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka
Syahid’. Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur.
Nama Raden Joko Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh
para penduduk Tuban hingga masa kini.
Joko Said
dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati
Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak legendaris
Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya
Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun
sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan
pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi
kepada rakyat.
Joko Said muda
yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering
membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said
kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten
dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang
saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.
Karena
tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili
Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena
alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk
menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan. Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini
karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama.
Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten
seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu
menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud
dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki
banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.
Riwayat
masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana
kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan
ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu
‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang
tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah. Dari hasil rampokannya itu,
sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini
mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat
masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia
diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.
Semuanya
berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama
beken, Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang
inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat
diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat
dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias
Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian
berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan
gelar ‘Sunan Kalijaga’.
Dari mana nama ‘Kalijaga’ muncul?
Pertanyaan ini
masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar
sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu
berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah
tinggal di Cirebon dan bersahabat erat
dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon
untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya, seperti gelar Sunan
Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di
kaki Gunung Jati.
Fakta
menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga
sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya
dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu. Misalnya nama Cirebon
yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena
banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu
justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu.
Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.
Riwayat lain
datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini
dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak
seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut
nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali
oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun. Pendapat yang terakhir ini yang
paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’
dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan
kedua pendapat ini.
Secara
sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan
segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan
kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek
yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila
ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang
menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.
Bila benar
bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau
karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop
(seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali”
atau “Sunan Jaga Kali”.
Kemudian
secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang
da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari?
Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya,
tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan. Riwayat Kejawen
bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga
merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama
saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan
tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat
itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Pendapat yang
paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari
bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase
asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah
mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478,
beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak
saat itu, Sunan Giri.
Masyarakat
Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata
Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari
‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’),
Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka
tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi
‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.
Posisi Qadli
yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak
merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam.
Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah
‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam.
Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia
adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.
Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik
Kita kembali
ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan
bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100
tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten,
bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga
adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.
Manuskrip-manuskrip
dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga
zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di
dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka
Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi
disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu
beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena
pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa. Fakta menunjukan bahwa
makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di
kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya); tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.
Riwayat-riwayat
yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga;
selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah
aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan
dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam
Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal
sehat nan intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia.
Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang
gemar sihir.
Ajaran Sunan
Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen.
Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar
Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah
perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
“tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang
kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas
merupakan tempat peribadatan Islam.
Paham
keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi; bukan sufi-panteistik ala
Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti
dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat
terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan
ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.
Kesenian dan
kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah.
Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya
sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif
dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya. Wayang
beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail
dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip
dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan
mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram
hukumnya.
Cerita yang
berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk
kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau
sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya
tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat.
Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap.
Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam
segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan
bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang.
Lakon-lakon
yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan
lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau
tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau
menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon
Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat.
Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan
karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter
Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah
karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
1.
Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya
menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang
‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari
Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan
kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri;
Sahih Bukhari)
2.
Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku.
Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh
bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.
3.
Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya
‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan
kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.
4.
Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya
‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman
sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.
5.
Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya
‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat
kezaliman.
Seni ukir,
wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta
seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata,
bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan
dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai
metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara
filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah Saw yang mengandalkan
keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam
menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.
(Maaf, lupa sumbernya, dan berikut tambahan sedikit dari Rujak Beling Kolak Rawe)
Susuhunan Kalijaga berada dalam persimpangan. Sang Pembesar Negara bagaikan makan buah simalakama: Sabaya Pati Sabaya Mukti Labuh Negara berdirinya Demak Bintoro ataukah mikul dhuwur mendhem jero leluhurnya Majapahit. Mangro tingal Kanjeng Susuhunan, meski batinnya memihak Eyangnya, Sang Prabu Brawijaya, sebagai pendiri Negara dan Panglima ia wajib mewujudkan cita-cita Negara, sebuah tatanan baru yang membawa pencerahan bagi leluhurnya yang kapir-kopar.
Konon dari vested interest tersebut terciptalah tokoh baru dalam pewayangan, Kenya Wandu dan Buta Cakil.
Kenya Wandu, sosok lelaki berpenampilan perempuan sebuah penggambaran
diri Sunan Kalijaga, ambiguitas selaiknya si Buta Cakil raksasa
berpenampilan ksatria. Dengan rahang bawah yang menonjol keluar dihiasi
gigi panjang tajam, si Cakil bersuara kecil kalau ngomong nyerocos tanpa
jeda adalah symbol ahli dakwah yang tiada duanya, tiada yang mampu
menandingi dalam berdebat.
Kemunculan Cakil dalam pewayangan tercerita dalam adegan Perang Begal, atau yang lebih dikenal sebagai Perang Kembang. Perangnya ksatria melawan para raksasa setelah adegan gara-gara. Perang Kembang sejatinya tamsil kehidupan manusia.
Setelah
mengalami gara-gara, chaos, manusia butuh keseimbangan, aktualisasi
diri. Dipenuhi idealisme yang menggebu-gebu tergambar sebagai empat
punggawa raksasa pengikut Cakil, symbol 4 elemen dalam dirinya. Bumi,
Geni, Angin, Banyu atau dalam terminology Islam Aluamah, Supiyah,
Amarah, Mutmainah. Idealism yang mengebu-gebu ini, yang membawa manusia
terbang keawang-awang harus dibumikan kembali
Disesuaikan dengan keadaan & kondisi riil yang dihadapi agar taktik tidak merusak strategi.
Cakil selalu mati karena tertusuk kerisnya sendiri Muncul sebagai perlambang kebutuhan Manusia akan watak. Watak
adalah keberpihakan pada suatu kepentingan, dimana Ideologi menjadi
motor yang bergerak dalam jiwa tanpa henti dengan konsekwen untuk
membela kepentingan. Watak tercermin dalam sikap,
bermuara pada seluruh aktivitas gerak hidup manusia. Watak inilah yang
menjiwai dan memberi visi pada gerak hidup manusia. Watak menghindarkan
dari vested interest, sikap yang plin-plan atau mencla-mencle.
Cakil juga punya pandherek.
Pandhereknya malah tidak kalah dengan pandhereknya Arjuna. Yaitu Togog,
yang seasal-usul dengan Semar dan Bethara Guru. Ini juga sebuah
simbolisme, dalam aktualisasi diri manusia watak manusia bisa bermutasi
sesuai dengan fatsun status sosial menentukan watak sosial.
Maka menjadi sebuah pertanyaan ultim bagi setiap manusia yang
memperjuangkan idealismenya, akankah dia bermutasi atau tetap setia pada
idealismenya? Diemong oleh Semar atau menjadi diemong oleh Togog?
Geni sakpelik munggah krapak, sabda Sang Susuhunan Kalijaga. Ya api yang kecil itu telah menjalar, dan akan membakar semuanya. Bakar! Bongkar!!!
Robot Pengintai Mutakhir
Program DARPA's Nano Air Vehicle (NAV) bertujuan untuk mengembangkan
sistem robot pengintai yang berbodi mini. Ukurannya ditentukan hanya
sepanjang 15 cm saja dan beratnya kurang dari 20 gram.
Salah satu desain eksperimen dari program tersebut adalah robot berwujud burung seperti gambar di atas. Ia dirancang dapat terbang dan melakukan pengintaian di berbagai tempat.
Salah satu desain eksperimen dari program tersebut adalah robot berwujud burung seperti gambar di atas. Ia dirancang dapat terbang dan melakukan pengintaian di berbagai tempat.
Langganan:
Postingan (Atom)